Monday, June 3, 2013

Nyentriknya Radikalisme Islam di Solo


 

          Solo sebagai kota yang tersohor  dengan ikon batiknya juga terkenal dengan sepak terjang gerakan Islam yang radikal. Radikalisme Islam di Solo memiliki sejarah yang panjang.  Mulai dari gerakan TKNM (tentara kanjeng Nabi Muhammad) yang dipelopori oleh HOS. Cokroaminoto dan gerakan SATV (Shidiq amanah tabligh vatonah) Haji Misbah tahun 1918 hingga terakhir tragedi bom Gereja Kepunton tahun 2011 . Demikian dikemukaan oleh Muhammad Wildan dalam obrolan Reboan “Islam dan Radikalisme di Solo” di pendopo hijau  Yayasan LKiS, 28 Maret 2011 lalu.
          Tema diskusi yang diambil dari topik disertasi Wildan ini memaparkan secara singkat jawaban mengapa radikalisme Islam marak di Solo karena kota asal pujangga Ronggowarsito itu dahulu kala sebagai pusat kerajaan Islam-Jawa yang menghasilkan sinkretisme. Penyebab lainnya  tidak adanya corak Islam yang dominan atau mainstream di Surakarta, tidak adanya pemimpin budaya-agama. Olivier Roy menyatakan ”radical Islam is supra-national, but shaped by national peculiarities.” Ada tiga faktor radikalisme Islam: pertama, pengaruh hegemoni barat yang menyulut gerakan  global jihad. Kedua, ketidakadilan dan kesenjangan sosial  dalam masyarakat yang lantas membuat efek resistensi terhadap pemerintah. Ketiga, justifikasi agama (pengaruh Wahabisme & Salafisme).
          Sejarah menyebutkan Islamisasi didominasi oleh Kraton Kasunanan pada abad 18-19. Kawasan relijius: Laweyan, Kauman, dan Pasar Kliwon. Tiga tokoh Islam yang memiliki nama depan  Abdullah berpengaruh di Solo: Abdullah Sungkar (pendiri Pondok Ngruki), Abdullah Thufail Saputra (pendiri MTA), dan Abdullah Marzuki (pendiri Pondok Asssalam). Dalam perkembangannya, radikalisme Islam di Solo banyak bersumber pada Pondok Ngruki (Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir). Mereka memiliki jaringan yang sangat rapi atau sering disebut oleh Sidney Jones sebagai The Ngruki Network.Organisasi terkait: Negara Islam Indonesia, Usrah (1980-an), Jama’ah Islamiyah (1993), Majelis Mujahidin Indonesia (2000), KOMPAK (1999) dan Jama’ah Anshorut Tauhid (2008). NII lebih radikal karena pengaruh Al-Qaeda. Pengaruh Wahabisme dan Salafisme dalam interpretasi Islam akibat dari paham global jihad Osama bin Laden. Pengaruh Wahabisme  dan Salafisme  menghasilkan  gerakan jihad yang disalahartikan menjadi perang.
          Sesi diskusi pada obrolan reboan yang diikuti sekitar 15 orang peserta berjalan gayeng. Ahmad Sidqi mempertanyakan tentang posisi pengikut jama’ah Habib Syekh dalam konteks Islam di Solo dan peran Jokowi, wali kota Solo saat ini dalam menjawab tantangan pluralisme. Wildan menjawab bahwa pengikut Habib Syekh kebanyakan berasal dari luar daerah Solo dan tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap radikalisme di Solo.  Hairus Salim memaparkan pendapatnya bahwa Solo memiliki potensi seni yang sangat mempesona. Inti dari persoalan radikalisme Islam tumbuh subur di Solo sebab tidak ada kepemimpinan yang dominan. Pesantren Jamsaren yang dulunya banyak melahirkan pemikir Islam seprti Munawir Sjadzaly tidak lagi memiliki gaung seperti dulu. Bahkan di Solo mistisisme Islam juga berkembang pesat seperti ajaran Saptodarmo. Tokoh Islam radikal yang diidentikkan dengan Abu Bakar Ba’asyir (ABB) bukan asli dari Solo melainkan dari luar kota Solo.  Jokowi sebagai wali kota Solo kurang begitu concern terhadap isu pluralisme tetapi tetap melindungi kelompok minoritas, seperti kaum Tionghoa.
          Masyarakat abangan juga memberikan warna tersendiri di kota kantong terbesar partai PDI-P di Jawa.Parpol pimpinan Megawati itu menang mutlak di Solo. Pada tahun 1996 terjadi fenomena Mega-Bintang dipelopori oleh Mudrik Sangidu yang mengawinkan ideologi antara kelompok abangan dengan kelompok agama (Islam). Ide  ini di anggap genuine dan menarik simpati dari kalangan Islam di akar rumput sehingga gerakan Mega Bintang menghimpun  pengikut yang sangat banyak.
          Menurut Wildan masyarakat grassroot Solo sangat rentan dipengaruhi karena tidak memiliki ideologi yang jelas. Tipikal masyarakat Jawa: ngalah, ngalih, ngamuk (mengalah, berpindah, marah). Fenomena radikalisme agama di Solo lebih banyak dipengaruhi faktor sosio-politik; radikalisme Islam lebih sebagai reaksi daripada aksi. Harus ada upaya sinergis pemerintah dan masyarakat dalam mainstreaming Islam moderat di beberapa pesantren garis keras. Masyarakat harus terlibat dalam proses re-mainstreaming Islam moderat (population-centric strategy, PCS) dan juga memperkuat daya tolak masyarakat (social resilience) terhadap virus radikalisme.
          Jika di-framing beberapa organisasi Islam garis keras cenderung menggunakan isu-isu Islam seperti: Syariah Islam, Khilafah, Jihad, dan Syahid. Radikalisme sebagai jalan pintas menuju surga. Isu-isu ini menarik bagi kelompok abangan termarginalisasi. Akan tetapi ide perda Syariah yang pernah digelontorkan oleh ABB tidak direspon oleh masyarakat abangan Solo. Di sinilah letak ke-nyentrikan radikalisme Islam di Solo. Semua ideologi dari kanan mentok hingga kiri mentok berjalan beriringan meski tak sejalan di kota nasi liwet ini.
Azzah Nilawaty
(http://www.lkis.or.id/v2/berita-183-nyentriknya-radikalisme-islam-di-solo.html)

1 comment:

  1. Anggap saja telah tiba saatnya antek2 dajjal sedang menyerang Islam dgn cara sedemikian rupa. Naudzubillahi mindzalik.

    ReplyDelete