Solo sebagai kota
yang tersohor dengan ikon batiknya juga terkenal dengan sepak terjang
gerakan Islam yang radikal. Radikalisme Islam di Solo memiliki sejarah yang
panjang. Mulai dari gerakan TKNM (tentara kanjeng Nabi Muhammad) yang
dipelopori oleh HOS. Cokroaminoto dan gerakan SATV (Shidiq amanah tabligh
vatonah) Haji Misbah tahun 1918 hingga terakhir tragedi bom Gereja Kepunton
tahun 2011 . Demikian dikemukaan oleh Muhammad Wildan dalam obrolan Reboan
“Islam dan Radikalisme di Solo” di pendopo hijau Yayasan LKiS, 28 Maret
2011 lalu.
Tema diskusi yang diambil dari topik disertasi Wildan ini memaparkan secara
singkat jawaban mengapa radikalisme Islam marak di Solo karena kota asal pujangga Ronggowarsito itu dahulu
kala sebagai pusat kerajaan Islam-Jawa yang menghasilkan sinkretisme. Penyebab
lainnya tidak adanya corak Islam yang dominan atau mainstream di
Surakarta, tidak adanya pemimpin budaya-agama. Olivier Roy menyatakan ”radical
Islam is supra-national, but shaped by national peculiarities.” Ada tiga faktor
radikalisme Islam: pertama, pengaruh hegemoni barat yang menyulut gerakan
global jihad. Kedua, ketidakadilan dan kesenjangan sosial dalam
masyarakat yang lantas membuat efek resistensi terhadap pemerintah. Ketiga,
justifikasi agama (pengaruh Wahabisme & Salafisme).
Sejarah menyebutkan Islamisasi didominasi oleh Kraton Kasunanan pada abad
18-19. Kawasan relijius: Laweyan, Kauman, dan Pasar Kliwon. Tiga tokoh Islam
yang memiliki nama depan Abdullah berpengaruh di Solo: Abdullah Sungkar
(pendiri Pondok Ngruki), Abdullah Thufail Saputra (pendiri MTA), dan Abdullah
Marzuki (pendiri Pondok Asssalam). Dalam perkembangannya, radikalisme Islam di
Solo banyak bersumber pada Pondok Ngruki (Abdullah Sungkar dan Abu Bakar
Ba’asyir). Mereka memiliki jaringan yang sangat rapi atau sering disebut oleh
Sidney Jones sebagai The Ngruki Network.Organisasi terkait: Negara
Islam Indonesia,
Usrah (1980-an), Jama’ah Islamiyah (1993), Majelis Mujahidin Indonesia (2000),
KOMPAK (1999) dan Jama’ah Anshorut Tauhid (2008). NII lebih radikal karena
pengaruh Al-Qaeda. Pengaruh Wahabisme dan Salafisme dalam interpretasi Islam
akibat dari paham global jihad Osama bin Laden. Pengaruh Wahabisme dan
Salafisme menghasilkan gerakan jihad yang disalahartikan menjadi
perang.
Sesi diskusi pada obrolan reboan yang diikuti sekitar 15 orang peserta berjalan
gayeng. Ahmad Sidqi mempertanyakan tentang posisi pengikut jama’ah
Habib Syekh dalam konteks Islam di Solo dan peran Jokowi, wali kota Solo saat ini dalam menjawab tantangan
pluralisme. Wildan menjawab bahwa pengikut Habib Syekh kebanyakan berasal dari
luar daerah Solo dan tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap
radikalisme di Solo. Hairus Salim memaparkan pendapatnya bahwa Solo
memiliki potensi seni yang sangat mempesona. Inti dari persoalan radikalisme
Islam tumbuh subur di Solo sebab tidak ada kepemimpinan yang dominan. Pesantren
Jamsaren yang dulunya banyak melahirkan pemikir Islam seprti Munawir Sjadzaly
tidak lagi memiliki gaung seperti dulu. Bahkan di Solo mistisisme Islam juga
berkembang pesat seperti ajaran Saptodarmo. Tokoh Islam radikal yang
diidentikkan dengan Abu Bakar Ba’asyir (ABB) bukan asli dari Solo melainkan
dari luar kota
Solo. Jokowi sebagai wali kota
Solo kurang begitu concern terhadap isu pluralisme tetapi tetap
melindungi kelompok minoritas, seperti kaum Tionghoa.
Masyarakat abangan juga memberikan warna tersendiri di kota kantong terbesar partai PDI-P di
Jawa.Parpol pimpinan Megawati itu menang mutlak di Solo. Pada tahun 1996
terjadi fenomena Mega-Bintang dipelopori oleh Mudrik Sangidu yang mengawinkan
ideologi antara kelompok abangan dengan kelompok agama (Islam). Ide ini
di anggap genuine dan menarik simpati dari kalangan Islam di akar rumput
sehingga gerakan Mega Bintang menghimpun pengikut yang sangat banyak.
Menurut Wildan masyarakat grassroot Solo sangat rentan dipengaruhi
karena tidak memiliki ideologi yang jelas. Tipikal masyarakat Jawa: ngalah,
ngalih, ngamuk (mengalah, berpindah, marah). Fenomena radikalisme agama di
Solo lebih banyak dipengaruhi faktor sosio-politik; radikalisme Islam lebih
sebagai reaksi daripada aksi. Harus ada upaya sinergis pemerintah dan
masyarakat dalam mainstreaming Islam moderat di beberapa pesantren garis keras.
Masyarakat harus terlibat dalam proses re-mainstreaming Islam moderat (population-centric
strategy, PCS) dan juga memperkuat daya tolak masyarakat (social
resilience) terhadap virus radikalisme.
Jika di-framing beberapa organisasi Islam garis keras cenderung
menggunakan isu-isu Islam seperti: Syariah Islam, Khilafah, Jihad, dan Syahid.
Radikalisme sebagai jalan pintas menuju surga. Isu-isu ini menarik bagi
kelompok abangan termarginalisasi. Akan tetapi ide perda Syariah yang pernah
digelontorkan oleh ABB tidak direspon oleh masyarakat abangan Solo. Di sinilah
letak ke-nyentrikan radikalisme Islam di Solo. Semua ideologi dari kanan mentok
hingga kiri mentok berjalan beriringan meski tak sejalan di kota nasi liwet ini.
Azzah Nilawaty
(http://www.lkis.or.id/v2/berita-183-nyentriknya-radikalisme-islam-di-solo.html)